Sejak pertama berjumpa dengan Erwin, Alita jatuh cinta pada sahabat kakaknya itu. Bagi Alita, tak jadi masalah Erwin hanya menganggapnya adik. Toh Alita memang tak berniat jadi kekasih Erwin. Mencintai bukan berarti juga bersedia jadi kekasih. Bagi Alita, orang tak pernah butuh syarat apa pun untuk jatuh cinta, tapi jelas banyak yang harus dipertimbangkan saat sepasang insan berniat menjalin hubungan serius. Dan Erwin—yang terang-terangan mengaku dirinya buaya mata keranjang—tak masuk hitungan Alita, juga tak masuk hitungan orangtua Alita, kakak Alita, bahkan juga sahabat Alita. Toh cinta Alita pada Erwin tetap tumbuh bersemi, meski tersembunyi dalam hati.
Bagi Alita ini bukan pemberontakan melawan keluarga dan sahabatnya, sebab Alita merasa cintanya pada Erwin adalah jenis cinta sepihak yang tak menghendaki apa-apa dari yang dicintai. Cinta yang penuh kesadaran tak akan memperoleh pemenuhan. Cinta tanpa tujuan memiliki, apalagi menguasai. Cinta tanpa harapan, tanpa muara…
Tapi, sungguhkah jenis cinta semanis dan sesederhana itu bisa benar-benar ada? Sungguhkah Alita mampu tetap menggunakan akal sehatnya dan menuruti nasihat orang-orang terdekatnya, saat akhirnya Erwin juga jatuh cinta padanya?